Prabowo Gabung BRICS, Apa Bedanya Dengan G20 & OECD?

KTT BRICS di Kazan, Rusia, Rabu (23/10/2024). (REUTERS/BRICS-RUSSIA2024)

Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto melebarkan sayap Indonesia di berbagai forum-forum dunia. Terbaru ialah, ambisinya untuk membawa Indonesia masuk ke dalam forum negara-negara berkembang Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan atau dikenal dengan BRICS.

“Merupakan suatu kehormatan bagi saya sebagai utusan khusus Presiden Republik Indonesia untuk mengumumkan niat Indonesia untuk bergabung dengan BRICS dan menjadi anggotanya,” kata Menteri Luar Negeri Sugiono dalam pidatonya dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS Plus di Kazan, Rusia, dikutip Senin (28/10/2024).

Sebelum BRICS, Indonesia telah bergabung dengan kelompok ekonomi negara-negara yang disebut dengan Group of Twenty atau G20. Lalu, kini tengah dalam tahap aksesi untuk masuk ke dalam Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi atau OECD yang tergolong kelompok negara-negara berpendapatan tinggi.

Sebetulnya ada perbedaan mendasar antara G20, OECD, dan BRICS yang tidak bisa membuat dua organisasi itu berlainan arah satu dengan lainnya, dan mengharuskan Indonesia untuk memilih salah satu dari dua organisasi tersebut untuk kepentingan ekonominya.

Berikut ini perbedaan dari kelompok-kelompok tersebut, berdasarkan penjelasan para ahli:

BRICS

BRICS, sebagai blok negara-negara berkembang dengan kepemilikan kekuatan demografi yang besar, dan daya produktivitas yang kuat, lebih bersifat organisasi yang bertujuan untuk menciptakan tata kelola dunia yang lebih inklusif.

Istilah BRICS diserap dari penelitian karya Jim O’Neill, mantan Chairman of Goldman Sachs Asset Management, yang dipublikaskan dalam bentuk buku berjudul The Growth Map: Economic Opportunity in the BRICs and Beyond (2011).

“Itu dulu inisiasi dari Goldmen Sachs. Ada dalam buku The Growth Map,” kata Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi Internasional Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Edi Prio Pambudi, saat ditemui di kantor Kemeneko Perekonomian.

BRICS memiliki 5 anggota utama, yakni Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Ditambah dengan lima anggota tambahan, yakni Arab Saudi, Ethiopia, Iran, Uni Emirat Arab, dan Mesir, sehingga kini menyandang nama dalam forum-forumnya sebagai BRICS+.

Indonesia kini pun telah menjadi bagian dari BRICS sebagai negara mitra bersama 12 negara lain yang telah menyatakan ketertarikan untuk bergabung dengan sebagai anggota organisasi itu, yakni Aljazair, Belarus, Bolivia, Kuba, Kazakhstan, Malaysia, Nigeria, Thailand, Turki, Uganda, Uzbekistan, dan Vietnam.

Anggota utama dan anggota tambahan BRICS yang totalnya sebanyak 10 negara menyumbang sekitar 40% dari produksi dan ekspor minyak mentah global. Mereka juga menyumbang seperempat dari PDB global setara 29% dari PDB global, dan sekitar 20% dari perdagangan barang global. Demografinya pun hampir setengah dari populasi dunia atau setara 46%.

Oleh sebab itu, ciri utama BRICS terbagi ke dalam dua ciri, pertama ialah memiliki kekuatan produktivitas yang tinggi atau power of demography, dan kedua adalah power of productivity.

“Negara-negara yang dianggap mempunyai dua hal. Satu, the power of demography, karena memang penduduknya besar, terutama India, dan China. Yang kedua, otomatis kalau dia the power of demography, dia the power of productivity,” tegas Edi.

BRICS sendiri juga merupakan negara yang di dalamnya dulu menjadi bagian dari negara-negara yang dikenal dengan istilah The Fragile Five. Turki, Indonesia, India, Brasil, dan Afrika Selatan adalah negara-negara yang pada 2013 dikenal sebagai The Fragile Five. Negara-negara ini adalah emerging markets dengan potensi ekonomi yang luar biasa. Namun pada saat yang sama, mereka sangat rentan ‘digoyang’.

Istilah The Fragile Five diperkenalkan oleh Morgan Stanley. Menurut Morgan Stanley, Indonesia cs dinilai rentan karena punya fundamental yang relatif rapuh. Fundamental itu diukur dari keseimbangan eksternal yaitu neraca pembayaran.

Di Indonesia dkk, neraca pembayaran begitu tergantung kepada arus modal di sektor keuangan alias hot money yang sangat fluktuatif. Uang panas ini bisa datang dan pergi sesuka hati, sulit untuk diharapkan bisa berdimensi jangka panjang.

Ketergantungan terhadap hot money disebabkan oleh transaksi berjalan (current account) yang masih defisit. Artinya, pasokan valas yang berjangka panjang dari ekspor-impor barang dan jasa seret.

Oleh karena itu, mata uang negara-negara The Fragile Five tertekan hebat ketika pasar keuangan global berguncang. Misalnya ketika periode Taper Tantrum pada 2013, masa-masa kegalauan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve/The Fed yang membuat kesal seluruh dunia.

Perbaikan di sisi transaksi berjalan membuat tekanan mata uang Indonesia Cs berkurang. Bahkan rupiah berhasil menguat cukup signifikan.

Salah satu yang membuat Indonesia punya daya tawar tinggi adalah kenaikan peringkat utang dari Standard and Poor’s (S&P). Pada Mei lalu, S&P menaikkan rating Indonesia dari BBB- menjadi BBB. Artinya, risiko gagal bayar (default) di Indonesia semakin minim.

Kenaikan rating itu sukses membuat arus modal asing membanjiri Indonesia. Sejak awal tahun, investor asing membukukan beli bersih Rp 57,91 triliun di pasar saham. Sementara kepemilikan asing di obligasi pemerintah bertambah Rp 117,5 triliun.

OECD

Sementara itu, untuk OECD adalah organisasi lintas negara yang memiliki misi untuk mewujudkan perekonomian global yang kuat, bersih, dan berkeadilan. Indonesia menargetkan bisa bergabung 3 tahun setelah mengajukan pendaftaran pada 2024.

Sejumlah anggota OECD di antaranya Amerika Serikat, Australia dan negara-negara Eropa. Dengan bergabung ke organisasi ini, Indonesia berharap dapat mendorong pembangunan ekonomi dalam negeri hingga mampu menjadi negara maju dengan mengikuti standar-standar kebijakan OECD.

Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi Internasional Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Edi Prio Pambudi mengatakan, OECD merupakan organisasi negara yang tidak mengurus kerja sama perdagangan antar negara anggotanya, melainkan sebatas penetapan standar kebijakan.

“OECD itu adalah lembaga benchmarking untuk standar. Bukan trade block, makanya di dalam OECD tidak ada perundingan. Yang ada adalah diskusi, konsultasi. Jadi bukan ada kemudian negosiasi tarif, tidak ada,” ucap Edi.

Oleh sebab itu, ketika suatu negara ingin bergabung dengan OECD maka persyaratannya ialah menyesuaikan regulasi dan standar ekonomi-sosial sesuai yang dipersyaratkan dan disepakati negara-negara anggotanya.

Misalnya standar tinggi untuk Human Development Index (HDI), Programme for International Student Assessment (PISA), Rasio Gini atau Gini Coefficient, hingga kualitas dan ekspektasi hidup, hingga standar perpajakannya.

“Jadi bicaranya semua adalah people centric indicators, karena juga kita ingin tidak hanya besar secara PDB (Produk Domestik Bruto), tapi besar juga secara wealth. Nah makanya kita ke sana adalah untuk menegaskan kembali hal-hal yang penting, supaya kita bisa membuat indikator wealth kita bagus,” ucap Edi.

Mayoritas anggota OECD adalah negara berpenghasilan tinggi dan dianggap sebagai negara maju. Populasi kolektif mereka adalah 1,38 miliar orang dengan harapan hidup rata-rata 80 tahun dan usia rata-rata saat ini adalah 40 tahun, dibandingkan dengan rata-rata global yaitu 30 tahun.

Label yang melekat sebagai klub negara berpenghasilan tinggi, negara-negara anggota OECD secara kolektif menguasai 80% perdagangan dan investasi dunia.

G20

Adapun G20 sebuah forum utama kerja sama ekonomi internasional yang beranggotakan negara-negara dengan perekonomian besar di dunia terdiri dari 19 negara dan 1 lembaga Uni Eropa.

G20 merupakan representasi lebih dari 60% populasi bumi, 75% perdagangan global, dan 80% PDB dunia.

Anggota G20 terdiri dari Afrika Selatan, Amerika Serikat, Arab Saudi, Argentina, Australia, Brasil, India, Indonesia, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Meksiko, Republik Korea, Rusia, Perancis, Tiongkok, Turki, dan Uni Eropa.

Pembentukan G20 pada 1999 timbul akibat kekecewaan komunitas internasional terhadap kegagalan G7 dalam mencari solusi terhadap permasalahan perekonomian global yang dihadapi saat itu. Indonesia pun telah menjadi anggota sejak lembaga itu berdiri saat tengah dalam proses pemulihan ekonomi dari krisis moneter 1997-1998.

Negara-negara itu menganggap pentingnya negara berpendapatan menengah serta yang memiliki pengaruh ekonomi secara sistemik untuk diikutsertakan dalam perundingan demi mencari solusi permasalahan ekonomi global.

Dengan besarnya kapasitas forum ini, Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damhuri menilai Indonesia tak perlu masuk menjadi anggota BRICS, karena sudah menjadi anggota G20 yang secara skala ekonomi lebih besar dari BRICS.

“Indonesia itu anggota G20, kita tidak terlalu memerlukan suatu platform baru untuk menjadi saluran di tingkat global,” kata dia.

Menurut dia, kondisi Indonesia itu berbeda dengan negara Asean lainnya yang masuk dalam sebagai mitra BRICS, seperti Vietnam, Thailand dan Malaysia. Yose mengatakan ketiga negara tetangga itu bukan anggota G20, sehingga perlu mencari corong saluran diplomasi di tingkat global.

Karena itu Yose menilai Indonesia seharusnya mendorong agar negara Asean lainnya bisa masuk menjadi anggota G20. Bukannya mengikuti langkah negara Asean untuk masuk kelompok BRICS.

“Yang kita harus coba justru bukan menjadi bagian dari satu kelompok yang mungkin belum ketahuan juga tujuannya seperti apa,” kata dia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*