Jarang Diketahui, Ada Andil Firaun yang Kini Buat Warga RI Menjerit

Infografis/Sudah tak bisa bebas lagi, ini Deretan Barang Pinjaman Kantor yang Bakal Dipajaki/Aristya Rahadian

Setiap bulan, penghasilan para pekerja dipotong pajak oleh negara. Semakin besar penghasilan, maka potongan makin besar. Lalu saat bertransaksi, semakin banyak transaksi, maka potongan pajak makin besar.

Bahkan, saat memenuhi kebutuhan dasar, seperti rumah, ada pula potongan pajaknya. Semua itu dilakukan untuk mendongkrak penerimaan kas negara. Lewat pajak, negara bisa membangun banyak hal.

Meski begitu, keberadaan pajak dinilai warga Indonesia, bahkan juga di belahan bumi lain, sangat memberatkan. Apalagi, bagi mereka dari kelas menengah yang punya penghasilan pas-pasan. 

Fakta di lapangan lantas membuat mereka makin menjerit. Sebab, pajak yang diharuskan digunakan untuk kemaslahatan bersama, malah dipakai hal yang tidak benar. Sebut saja korupsi, hidup mewah, dan berbagai kegiatan pemborosan oleh oknum.

Sistem pajak yang dianut oleh pemerintah di berbagai belahan dunia ternyata berasal dari ide satu orang. Dia adalah Firaun, penguasa tunggal dari Peradaban Mesir Kuno. Sejarah mencatat, dialah orang pertama di dunia yang menciptakan sistem pungutan negara kepada rakyat, yang kini dikenal sebagai pajak. 

Dia memulainya sekitar tahun 3000 Sebelum Masehi (SM). Alasan Firaun memungut pajak bertujuan untuk modal pembangunan dan menjaga ketertiban sosial.

Firaun mengenakan pajak atas barang-barang, seperti gandum, tekstil, tenaga kerja, dan berbagai komoditas lain. Biasanya, hasil pungutan pajak dialihkan untuk membangun sektor serupa. Misalkan, jika menarik pajak atas beras, maka hasil pajaknya dialihkan untuk membangun lumbung beras.

Ide sistem penyesuaian yang dianut banyak negara juga mengadopsi sistem Firaun. Kala itu, Firaun menerapkan besaran pajak disesuaikan dengan kemampuan finansial objek pajak.

Ambil contoh ketika memungut pajak ladang. Firaun menetapkan pajak tinggi jika ladang tersebut sangat produktif atau memiliki hasil panen melimpah. Sementara yang non-produktif dikenakan pajak lebih rendah.

“Ladang-ladang dikenai pajak dengan cara yang berbeda-beda, dan tarifnya bergantung pada produktivitas ladang masing-masing dan kesuburan serta kualitas tanah,” kata sejarawan Moreno Garcia kepada Smithsonian Magazine.

Selain itu, sistem pemungutan pajak juga bergantung pada sistem ketinggian Sungai Nil. Hal ini berdasarkan temuan arkeolog yang mengungkap adanya sistem nilometer. Sistem ini berupa garis yang digoreskan di sebuah tangga pengukur ketinggian air.

Jika air naik di atas garis, maka berarti ladang tersebut dilanda kebanjikan dan penurunan hasil panen. Artinya, pajak yang dikenakan pun tak begitu besar. Begitu juga sebaliknya.

Seluruh pungutan pajak digunakan untuk pemenuhan kas negara. Semua rakyat dikenakan pajak tanpa terkecuali. Ketika ini terjadi, beban rakyat makin bertambah apalagi di Mesir Kuno juga terdapat sistem kerja rodi. Sistem ini membuat semua warga Mesir diharuskan bekerja kepada negara untuk proyek-proyek publik, seperti pengolahan ladang, penambangan, dan pembangunan infrastruktur.

Meski begitu, bukan berarti tak ada pengemplang pajak. Samuel Blankson dalam A Brief History Of Taxation (2007) mencatat, banyak orang tak ingin pendapatannya dipotong pajak, sehingga berpikir untuk mengakalinya.

Cara paling lazim, misalkan, kongkalikong antara pencatat dan subjek pajak. Subjek pajak sering tidak melaporkan penghasilan sebenarnya kepada pencatat supaya potongan pajaknya kecil. Selain itu, subjek pajak juga sering mengakali pengukuran, seperti mengakali timbangan agar potongan pajaknya rendah.

Pada akhirnya, warisan pemungutan atau potongan penghasilan yang dicetuskan oleh Firaun dari Mesir Kuno masih bertahan hingga sekarang. Kini, semua dikenal sebagai tax atau pajak, yang membuat semua warga menjerit. 

kas138

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*