
Aksi peretasan kian mengkhawatirkan. Laporan terbaru menunjukkan oknum penjahat siber berhasil mencuri hingga US$ 659 juta atau Rp 10,7 triliun. Ini dilakukan hacker yang didukung Korea Utara pada beberapa pencurian kripto sepanjang 2024 lalu.
Laporan gabungan yang dirilis Jepang, Korea Selatan, dan Amerika Serikat (AS), mengungkapkan kelompok Lazarus melakukan rekayasa sosial dan menggunakan malware untuk aksi pencurian cryptocurrency seperti Tradertraitor.
Salah satu modusnya adalah melakukan penyamaran dan menyusup sebagai pekerja IT pada perusahaan blockchain. Dengan begitu, pembobolan yang terjadi bisa dikatakan sebagai kasus ‘orang dalam’.
“Amerika Serikat, Jepang, dan Republik Korea memberi peringatan pada entitas sektor swasta, khususnya industri blockchain, untuk meninjau seluruh peringatan ancaman dan lebih menginformasikan langkah-langkah mitigasi ancaman siber,” ujar pernyataan itu, dikutip dari Tech Crunch, Rabu (15/1/2025).
“Perlu juga mengurangi risiko dengan tidak memperkerjakan pekerja IT Korea Utara,” jelas tiga pemerintahan tersebut.
Laporan tersebut mengonfirmasi Korea Utara bertanggung jawab atas beberapa serangan tahun lalu. Misalnya mencuri US$235 juta (Rp 3,8 triliun) pada Wazirx, sebuah pertukaran kripto terbesar di India, yang terjadi bulan Juli.
Begitu juga serangan lain dari DMM Jepang senilai US$308 juta (Rp 5 triliun), Upbit dan Radiant Capital masing-masing US$50 juta (Rp 814 miliar) dan Rain Management sebesar US$16,13 juta (Rp 262,8 miliar).
Dalam laporan AS sebelumnya, diperkirakan Korea Utara berhasil mencuri US$3 miliar (Rp 48,8 triliun) dalam kripto antara 2017-2023. Uang hasil curian itu dikatakan untuk mendanai program senjata nuklir.
Sementara dari data lain terungkap para peretas dari Korea Utara bertanggung jawab dari 61% pencurian kripto tahun lalu. Total yang telah dicuri setara dengan US$1,34 miliar (Rp 21,8 triliun).