
Harga komoditas minyak sawit atau Crude Palm Oil jelang perayaan Tahun Baru China atau Imlek terpantau sumringah dan mulai konsolidasi setelah turun dalam beberapa bulan terakhir. Apakah ini jadi tanda pembalikan arah untuk saham CPO?
Merujuk data Refinitiv, pada penutupan Selasa (28/1/2025) harga CPO di bursa Malaysia kontrak April 2025 berada di posisi 4.279 ringgit per ton, dalam sehari berhasil menguat 1,45% dan menandai kenaikan tiga hari beruntun.
Jika penguatan ini mampu berlangsung sampai akhir pekan, harga CPO secara mingguan potensi ditutup hijau dan diharapkan bisa membalikan arah selama empat pekan terakhir yang sudah terjerembab di zona merah.
Perlu dicatat, harga komoditas CPO ini dalam beberapa hari sudah bergerak relatif stabil setelah turun signifikan sekitar 17%, sejak menyentuh posisi tertinggi tahun lalu di kisaran 5200 ringgit.
Selain faktor Imlek yang menjadi booster permintaan minyak sawit jangka pendek, industri ini juga menyambut positif sentimen kemenangan Indonesia atas gugatan dagang kelapa sawit di World Trade Organization (WTO) dan penyaluran bahan bakar biodiesel 40 (B40) dimulai.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menanggapi kemenangan Indonesia dalam sengketa perdagangan dengan Uni Eropa terkait biodiesel di WTO. Kemenangan ini bagian dari perjuangan melawan diskriminasi perdagangan di global.
“Indonesia mengapresiasi keputusan Panel WTO dan ini merupakan pengakuan terhadap Biodiesel berbasis CPO,” kata Menko Perekonomian Airlangga Hartarto kepada CNBC Indonesia, Jumat (17/1/2025)
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono juga menyambut positif kemenangan RI atas Uni Eropa. Namun keputusan ini harus ditindak lebih lanjut dengan menggelar pertemuan bersama UE karena jika tidak maka ekspor RI ke Eropa tidak lantas bisa meningkat.
Selain itu, sentimen positif untuk CPO juga datang dari penyaluran B40 yang sudah dimulai. Terdapat 28 Badan Usaha BBM yang diwajibkan untuk melakukan bauran nabati pada produk BBM jenis gas oil nya atau menjual B40, diantaranya Pertamina melalui Pertamina Patra Niaga.
Dengan adanya penyaluran B40 ini diharapkan dapat mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap bahan bakar fosil, serta mendukung upaya pemerintah dalam mengurangi emisi karbon.
Adapun, pada tahun ini pemerintah menetapkan alokasi B40 sebanyak 15,6 juta kiloliter (kl) biodiesel dengan rincian, 7,55 juta kl diperuntukkan bagi Public Service Obligation atau PSO. Sementara 8,07 juta kl dialokasikan untuk non-PSO.
Sebenarnya, melihat dari implementasi B40 ini semakin mengkonfirmasi dari kebijakan baru dari pemerintah terkait kenaikan tarif pungutan ekspor dari 7,5% menjadi 10% mulai Januari tahun ini.
Hal tersebut meyakinkan penyerapan CPO akan lebih banyak untuk mendorong implementasi program biodiesel B40 lebih banyak.
Waspada! CPO Masih Ada Tantangan
Namun, perlu dicatat juga, meskipun dalam jangka pendek ini CPO mendapat beberapa sentimen positif, tetapi masih ada beberapa tantangan yang menyelimuti.
Seperti, kenaikan tarif ekspor CPO tersebut memang meyakinkan untuk penyerapatan CPO ke B40, tetapi ini bisa menjadi boomerang yang menurunkan daya saing produk CPO Indonesia di pasar internasional.
Sebagai catatan saja, CPO ini merupakan komoditas andalan RI yang punya banyak substitusi seperti minyak kanola, minyak kedelai, minyak bunga matahari, minyak zaitun, dan lain-lain. Artinya, konsumen yang sensitif dengan harga akan lebih mudah beralih ke produk minyak jenis lain.
Selain itu, La Nina juga menjadi salah satu tantangan terbesar tahun ini untuk produksi. Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksikan La Nina terjadi di Indonesia mulai November 2024 sampai April 2025.
La Nina adalah fenomena anomali iklim global yang terjadi ketika suhu permukaan laut di Samudra Pasifik bagian tengah dan timur lebih dingin dari biasanya. Fenomena ini cendeurng membuat lahan lebih basah bahkan bisa sampai berlumpur sampai banjir yang membuat proses panen lebih sulit. Alhasil, produksi pun terhambat dan membuat stok menurun.
Sementara itu, dari sisi permintaan ada potensi penurunan ekspor ke India yang merupakan konsumen terbesar CPO masih akan berlanjut pada tahun ini.
Hal tersebut sejalan dengan produksi minyak sawit India naik secara domestik, tercermin dari penyusutan pangsa pasar ekspor CPO Indonesia ke Indonesia dari 25% pada 2017 menjadi 19% pada 2023.
Sementara itu, China yang menjadi pasar dominan dengan peningkatan permintaan sebesar 19,76% sepanjang 2024 juga memicu risiko ketergantungan. Pasalnya, sang Naga Asia saat ini masih dilanda ekonomi yang lesu akibat krisis properti dan disinflasi berkelanjutan.
Kebijakan pemerintah Indonesia yang mengharuskan eksportir menyimpan 100% devisa hasil ekspor (DHE) di bank domestik mulai Maret 2025 menjadi tantangan tambahan. Langkah ini bertujuan memperkuat likuiditas domestik, tetapi menambah beban bagi pelaku industri yang harus menahan modal selama satu tahun penuh.
Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto optimistis kebijakan ini akan menciptakan stabilitas ekonomi yang lebih baik. Namun, pelaku industri masih mengkhawatirkan dampaknya terhadap margin keuntungan.
Lantas bagaimana dengan saham di sektor CPO?
Sejauh ini, harga saham sejumlah emiten CPO tampak mulai pulih meskipun dalam tren konsolidasi, setelah turun cukup dalam selama tiga bulan terakhir, mengikuti harga komoditas yang juga masih terjerembab sekitar 17% dari harga tertinggi November 2024 lalu.
Pemulihan harga saham CPO ini juga menjadi respon jangka pendek dari sikap pelaku pasar yang wait and see kinerja bottom line dari sejumlah emiten untuk periode full year 2024.
Jika, laba bersih masih bisa dituai dalam periode sepanjang tahun lalu, setidaknya ini akan menjadi katalis positif bagi saham CPO di tengah pergerakan harga yang fluktuatif dan tantangan produksi.
Kami menilai ini bisa dimanfaatkan sebagai momentum untuk trading buy jangka pendek, ditambah ada potensial upside dari valuasi mayoritas saham CPO yang sudah murah.
Menggunakan metrik Price to Book Value (PBV), kami melihat saham PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) memiliki valuasi paling murah dengan nilai PBV paling rendah di 0,51 kali. Kemudian diikuti PT Perusahaan Perkebunan London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) dan PT Eagle High Plantations Tbk (BWPT) masing-masing di PBV 0,59 kali dan 0,75 kali.
Untuk saham PT Dharma Satya Nusantara Tbk (DSNG) sejauh ini masih dinilai overvalue, sementara PT Triputra Agro Persada Tbk (TAPG) masih di kisaran fair value, sehingga menarik untuk dicermati pergerakan harganya, jika semakin turun maka valuasinya juga akan semakin murah.